Kamis, 09 Februari 2012
Judul Entri Baru
1.3 ICT Ethics
ICT ethics are not exceptional from the above-mentioned view of ethics. In a world
where information and communication technology has come to define how people
live and work, and has critically affected culture and values, it is important for us
to review ethical issues, as well as social responsibility, in the Asia-Pacific region.
This is a difficult task because of the diversity in creed, class, caste, dialect,
language, culture and race throughout the region. Moreover, the issue of ICT ethics
takes on added significance as the region struggles with the dynamics of
globalization and the current political environment after the September 11 incident.
Etika TIK tidak luar biasa dari tampilan di atas etika. Di dunia
di mana teknologi informasi dan komunikasi telah datang untuk mendefinisikan bagaimana orang
tinggal dan bekerja, dan telah kritis terpengaruh budaya dan nilai-nilai, penting bagi kita
untuk meninjau masalah etika, serta tanggung jawab sosial, di wilayah Asia-Pasifik.
Ini adalah tugas yang sulit karena keragaman dalam keyakinan, kelas, kasta, dialek,
bahasa, budaya dan ras di seluruh wilayah. Selain itu, isu ICT etika
sangat penting terutama sebagai daerah perjuangan dengan dinamika
globalisasi dan lingkungan politik saat ini setelah insiden 11 September.
'
“Ethics are moral standards that help guide behaviour, actions, and choices. Ethics
are grounded in the notion of responsibility (as free moral agents, individuals,
organizations, and societies are responsible for the actions that they take) and
accountability (individuals, organizations, and society should be held accountable
to others for the consequences of their actions). In most societies, a system of
laws codifies the most significant ethical standards and provides a mechanism for
holding people, organizations, and even governments accountable.” (Laudon,
et al, 1996)
"Etika adalah standar moral yang membantu perilaku panduan, tindakan, dan pilihan. etika
didasarkan pada gagasan tanggung jawab (sebagai agen moral yang bebas, individu,
organisasi, dan masyarakat bertanggung jawab atas tindakan yang mereka ambil) dan
akuntabilitas (individu, organisasi, dan masyarakat harus bertanggung jawab
kepada orang lain atas konsekuensi dari tindakan mereka). Di sebagian besar masyarakat, sistem
hukum codifies standar etika yang paling signifikan dan menyediakan mekanisme untuk
memegang orang, organisasi, dan bahkan pemerintah bertanggung jawab "(Laudon.,
et al, 1996)']'
02 June 2009
UU ITE : Kasus Prita Mulyasari & Kebebasan Berekspresi
Diposting oleh admin di 6/02/2009
Ekspresi
Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah diterapkan, dan kembali memakan 'korban'. Kali ini terjadi pada seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari, mantan pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang. Saat dirawat Prita Mulyasari tidak mendapatkan kesembuhan, malah penyakitnya bertambah parah. Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit serta rekam medis yang diperlukan pasien. Kemudian Prita Mulyasari Vila - warga Melati Mas Residence Serpong ini - mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut lewat surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni Internasional berang dan marah, dan merasa dicemarkan.
Lalu RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Saat ini Kejaksaan Negeri Tangerang telah menahan Prita Mulyasari di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena akan mengancam kebebasan berekspresi. Pasal ini menyebutkan :
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Beberapa aliansi menilai : bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah dan multi intrepretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar dan para moderator milis, maupun individu yang melakukan forward ke alamat tertentu.
Kasus ini juga akan membawa preseden buruk dan membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat atau komentarnya di ranah dunia maya. Pasal 27 ayat 3 ini yang juga sering disebut pasal karet, memiliki sanksi denda hingga Rp. 1 miliar dan penjara hingga enam tahun.
Lalu, apakah para blogger jadi takut dan surut bahkan berhenti untuk nge-blog karna UU ITE ini? Menurut saya sih tidak perlu, yang penting kita harus pintar-pintar (waspadalah..waspadalah..kata Bung Napi) agar tidak terjerat pasal karet tersebut. Berikut ini ada beberapa saran dari tim advokasi blogger agar tidak tersandung masalah seperti yang dialami Prita Mulyasari :
1. Jangan menulis untuk sekedar mencari perhatian atau sensasi, supaya trafiknya meningkat.
2. Jika ingin mengkritisi, fokus kepada masalah, tidak menyebar atau melenceng dengan embel-embel tertentu.
3. Tulisan harus didukung dengan data dan fakta.
4. Jangan sungkan-sungkan meminta maaf.
5. Berikan solusi, blogger harus bisa memberikan jalan keluar dari masalah yang sedang dikritisinya.
Mudah-mudahan saran di atas dapat membantu...lha, bayangkan sob dendanya Rp. 1 Milyar, mesti mengerjakan berapa job repiu sampai terkumpul Rp. 1 M...hehe.
Langganan:
Postingan (Atom)